Sunday, 9 November 2008

EKSPRESI SENI DAN INTERVENSI PUBLIK

1 komentar
(Studi Kasus Balai Soedjatmoko Tahun 2003-Sekarang) Solo sebagai bekas ibu kota Kerajaan Surakarta Hadiningrat dan sekaligus salah satu pusat kebudayaan Jawa, sejak 31 Oktober 2003, memperoleh tambahan ajang kegiatan budaya dengan nama Balai Soedjatmoko, yang diresmikan oleh Jakob Oetama, Presiden Direktur Kelompok Kompas Gramedia (KKG), sebagai pemrakarsa. Balai Soedjatmoko adalah sebuah rumah lama bergaya Art Deco, terletak di pusat kota, di Jalan Slamet Riyadi No 284 Solo. Soedjatmoko adalah salah seorang pemikir terkemuka Indonesia dan mungkin seorang pemikir Indonesia yang namanya telah mendunia. Pada awal kemerdekaan Indonesia, dia menerima tugas dari Sutan Sjahrir menerbitkan majalah Het Inzicht (Pemahaman ke Dalam). Sejak tahun 1947, selama tujuh tahun, dia ikut mewakili Indonesia selama perang diplomatik melawan Belanda dalam arena Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tahun 1968 pada awal pemerintahan Orde Baru, Koko diangkat menjadi Duta Besar (Dubes) RI di Washington DC, Amerika Serikat (1968-1971), dilanjutkan dengan posisi sebagai Penasihat Ahli Bidang Sosial Budaya di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) (1971-1980). Sebelum nantinya, dunia internasional yang sudah pernah memberi anugerah penghargaan Magsaysay (1978) kepada Soedjatmoko memberi kepercayaan untuk memangku jabatan Rektor Universitas PBB di Tokyo, Jepang (1980-1986). Diharapkan, memasyarakatnya Balai Soedjatmoko ini, menurut Jakob Oetama bisa turut mengumandangkan seruan untuk mengikuti jejak pemikiran-pemikiran besar sebagaimana diwariskan oleh Soedjatmoko. Tidak sekadar berhenti pada mengenang kebesaran sosoknya, melainkan jauh lebih utama dan bermakna, upaya untuk semakin meluaskan pemikiran-pemikiran tersebut sesuai dengan teladannya. Sesuatu yang pada masa sekarang ini terasa bertambah langka. (Kompas, Jumat, 31 Oktober 2003) Kehadiran Balai Soedjatmoko Solo ini disambut oleh praktisi seni rupa Solo dengan gegap gempita. Banyak harapan-harapan muncul di sana, salah satunya adalah Balai Soedjatmoko mampu mendorong iklim kompetisi di kalangan praktisi seni rupa Solo yang dampaknya mampu meningkatkan kualitas dan kuantitas kekaryaan mereka, di sisi yang lain Balai Soedjatmoko diharapkan dapat menjadi pintu bagi peningkatan kualitas dunia seni rupa Solo baik secara ekonomis maupun pewacanaan/ publikasinya. Secara ekonomis, karena Balai Soedjatmoko ini ada di tengah kota sehingga mudah diakses oleh masyarakat Solo. Selain itu, Balai Soedjatmoko yang terletak di area Toko Buku Gramedia secara rasional mempunyai komunitasnya sendiri yaitu kelas terpelajar menengah ke atas yang diharapkan tidak mempunyai kesenjangan dalam pengetahuan tentang estetika (nilai keindahan seni) serta secara finansial punya kemampuan untuk mengoleksi (sebagai perbandingan bahwa kota Solo sebelum adanya Balai Soedjatmoko hanya mempunyai satu galeri milik pemerintah di Taman Budaya Jawa Tengah yang terletak di batas kota sebelah timur sehingga jauh dari keramaian dan sangat ekslusif). Secara pewacanaan, karena banyak anggapan bahwa Balai Soedjatmoko ini adalah embrio dari Bentara Budaya (atau malah ada yang sebagian praktisi seni rupa yang sudah menyamakan Balai Soedjatmoko ini sebagai Bentara Budaya Solo, sehingga dapat menyebar-luaskan informasi kegiatan dan wacana yang coba dibangun. Atau singkatnya, Keberadaan Balai Soedjatmoko ini dalam pandangan praktisi seni rupa Solo merupakan sebuah galeri atau ruang pamer karya yang mempunyai sistem menejerial dan kuratorial yang profesional. Awal Masalah Pada awal-awal keberadaan Balai Soedjatmoko ini dalam prosesnya tidak ada masalah. Banyak sekali pameran digelar baik karya perupa Solo sendiri, Yogyakarta maupun Bandung. Bahkan pada tahun 2002, pernah juga dilewati program Bandung Internasional Performance Art Festival (BIPF) yang diikuti beberapa performer dari berbagai negara. Baru pada tahun 2004, terjadi peberedelan karya seni rupa yang dipamerkan di sana oleh aparat Kepolisian. Dalam pameran bertajuk” "Selamatkan Solo dengan Kesenian", sebuah karya instalasi milik Surya Indratno berjudul “Tubuh Mati” yang memasang gambar “Palu Arit” diturunkan oleh Polisi. Surya selaku seniman beserta beberapa panitia pameran termasuk Bp. Eko Bimo Sutopo selaku pengelola Balai Soedjatmoko juga diperiksa di kantor Polisi. Sebetulnya kasus pembredelan ini juga agak janggal, karena ketika pihak kepolisian (Kapolresta Solo, AKBP Lutfi Luhbianto) dikonfirmasi sebetulnya belum ada ketentuan hukumnya, tetapi hanya sebuah langkah preventif untuk keamanan (pihak Kepolisian mengalihkan persoalan pada tidak adanya surat ijin kegiatan). Meskipun akhirnya Surya dibebaskan dan pameran dapat dilanjutkan (kecuali karya yang bergambar Palu Arit- karena disita Polisi), tetapi peristiwa ini membuat dampak yang luar biasa bagi manajemen Balai Soedjatmoko. Langkah pertama adalah pergantian pimpinan pengelola Balai Soedjatmoko serta prosedur pengadaan pameran di sana yang harus menyertakan surat ijin dari pihak Kepolisian. Persoalan kedua yang muncul selama proses penyelenggaraan pamerand di Balai Soedjatmoko ini yang diadakan oleh Mahasiswa Prodi. Kriya Seni ISI Surakarta. Ada sebuah karya yang dipersoalkan oleh seorang anggota fundamentalis Islam yang memandang karya itu berbau pornografi (tahun 2006- saat ramainya pro-kontra UU Pornografi). Karya berjudul “petan” yang memvisualisasikan dua orang perempuan sedang petan dengan dada terbuka itu dianggap Pornografi. Padahal karya ini tidak menggunakan teknik realis tetapi stylisasi, sehingga terlihat lebih seperti ornamen/ ragam hias. Anggota Fundamentalis Islam ini kemudian mendatangi pihak pengelola Balai Soedjatmoko untuk memaksa karya itu diturunkan dengan ancaman kalau karya itu tidak diturunkan maka dia akan membawa massa dan menurunkan dengan paksa lukisan tersebut. Akhirnya pihak pengelola menurunkan karya tersebut. Balai Soedjatmoko Sekarang Dari beberapa intervensi dari luar tersebut, akhirnya pihak pengelola Balai Soedjatmoko membuat peraturan yang sangat ketat. Pertama harus ada ijin dari Kepolisian, kedua; karya yang digelar dalam pameran harus sesuai dengan karya yang ada dalam proposal. Ketiga: Pihak pengelola berhak menyeleksi karya yang akan dipamerkan. Tidak seperti menejemen atau kurasi galeri pada umumnya, bahwa karya yang layak pamer atau tidak itu dengan pertimbangan capaian estetika (indah tidak indah atau baik tidak baik), tetapi mengandung unsur politis atau tidak dan pornografi atau tidak! Bahkan, kalau ada karya yang berbau pornografi (menurut pandangan pihak pengelola), tetapi menurut senimannya tidak pornografi harus ada tawar-menawar yang cukup alot yang hasilnya di luar derajat keumuman praktik seni rupa. Misalnya karya boleh dipajang tetapi harus ditutup oleh kain, sehingga hanya orang yang tertarik saja yang boleh melihat dengan membuka kain penutup tersebut. Seperti dalam gambar di bawah ini : Gambar 01; “Butterfly” Gambar 02; Orang yang lihat harus membuka kain penutup Dari realitas di atas dapat ditarik kesimpulan awal bahwa adanya intervensi baik oleh negara maupun institusi/ kelompok/ komunitas di masyarakat, telah mampu merubah prilaku dan pola pikir pihak pengelola Balai Soedjatmoko yang berdampak pada munculnya kebijakan baru bagi penyelenggaraan pameran. Di sisi yang lain, adanya usaha para praktisi seni rupa Solo dalam memperjuangkan ekpresi individu seninya. Padahal secara jelas bahwa kedua belah pihak sama-sama mendapat intervensi dari luar, tetapi persoalannya kenapa keduanya mempunyai reaksi dan prilaku yang bertentangan. Lantas, pertanyaan yang muncul adalah; mengapa itu bisa terjadi? Mengapa sebuah karya bisa ditafsir berbeda sehingga menimbulkan prilaku yang berbeda pula? Untuk menjawab pertanyaan di atas, akan dibahas satu persatu aspek yang melatarbelakangi kenapa persoalan ini muncul. Ekspresi dan Multitafsir Seni Ekspresi Seni Membincangkan tujuan seni dalam dunia seni rupa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kerangka besar seni rupa modern barat, yang selalu terkait dengan pertentangan dua pemikiran besar, yaitu; seni untuk sosial dan seni untuk seni. Mengacu pendapat Plekhanov seorang revolusioner sekaligus pendiri Marxisme di Rusia bahwa fungsi seni adalah membantu perkembangan kesadaran manusia, membantu memajukan sistem sosial, maka seni adalah suatu gejala sosial. Penganut seni untuk sosial ini meng-counter perkembangan filsafat seni dari abad ke-18 di Eropa, yaitu yang disebut sebagai disiniterestedness atau ”tanpa kepentingan”, tanpa kegunaan. Seni yang dianggap baik adalah seni yang tanpa embel-embel kegunaan apapun. ”Dalam pemikiran ini, seni bukan ”berfikir tentang sesuatu”. Seni adalah sebuah empati, keterleburan pribadi ke dalam sesuatu yang kita sebut seni. Seni itu suatu kualitas yang hanya dapat dialami, dihayati. Seni itu suatu proses yang membawa ke sebuah kompleks pengalaman. Seni itu imaji, di luar realita empiris manusia di sini dan masa sekarang. Dan, imajinasi adalah alat moralitas manusia secara alamiah. Keindahan itu dengan sendirinya benar dan baik, logis dan etis.” (Jakob Sumardja, 2000; 92) Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi dan tujuan seni itu sendiri mempunyai kecenderungan yang berbeda. Dari pendekatan pertama; fungsi dan tujuan seni sendiri merupakan sebuah alat yang berguna untuk manusia. Sebagai mahkluk sosial, akhirnya karya seni para penganut pemikiran ini bagaimana sebuah seni itu mampu membuat perubahan sosial menuju ke arah kehidupan sosial yang lebih baik; seperti apa yang diyakini oleh Mulyana Tulung Agung yang menganggap bahwa seni itu adalah alat penyadaran. Maka dalam karya-karya para penganut seni untuk masyarakat ini dapat dinilai dengan ukuran kontekstual, baik agama, politik, moral dan sosial, seperti “teori kontekstual” Dewey yang dikutip oleh The Liang Gie. “Dalam pemikirannya, seni tersatupadukan demikian erat dengan lingkungan kehidupan yang dari situ seni timbul dan di dalam lingkungan itu seni dinikmati. Seni hanya dipahami dalam rangka makna sosial yang terkandung di dalamnya.” (The Liang Gie, 1996; 38) Sedangkan pendekatan kedua (seni untuk seni), ambisinya adalah keabadian yang melampaui konteks jamannya. Ia menolak dinilai dari konteks yang sedang berlaku, sebab nilai-nilai itu bersifat sejaman saja. Padahal, nilai-nilai konteks selalu berubah, sementara seni tidak berubah. Maka, mengukur nilai seni dari nilai konteks akan atau dapat menimbulkan bentrokan. (Jakob Sumardja, 2000; 94). Atau kalau ditinjau dari aliran pemikiran otonomi dari seni yang berkembang abad ke-19 tentang seni adalah otonom, maka seolah-olah seni itu bisa berdiri sendiri, dan mempunyai tujuan tersendiri. “Seni tidak perlu mengabdi pada sesuatu apapun di luar dirinya. Seni juga tidak boleh dinilai dari ukuran-ukuran baku yang tidak bercorak estetis seperti misalnya pertimbangan-pertimbangan moral, politik, dan agama. Bagi para seniman sendiri seni merupakan panggilan hidupnya dan tugas mereka hanyalah menyempurnakan hasil karyanya, terutama keindahan bentuknya.” (The Liang Gie, 1996; 37) Dari pertentangan dua pendekatan diatas; sebetulnya kalau mau dicermati mempunyai kesamaan yang sangat mendasar yaitu sama-sama merupakan hasil ekspresi dari pengendapan pemikiran senimannya. Manusia sebagai mahkluk individu dan sosial tak bisa dipecah menjadi dua bagian, tetapi tetap satu kesatuan yang tak terpisahkan. Sehingga ketika para penganut seni untuk masyarakat lebih menekankan pada fungsi sosialnya, tetap saja dia mempertimbangkan rasa keindahan individu. Sebaliknya, ketika para penganut pendekatan seni untuk seni, berfikir bahwa seni itu sangat otonom dan tak mempunyai fungsi yang lain selain murni ekspresi individu. Ketika seni dianggap otonom dan lepas dari fungsi-fungsi yang lain, termasuk di dalamnya adalah fungsi sosial, maka konsekwensinya adalah karya seni hanya boleh dibedah dengan estetika bukan nilai yang lain. Seni adalah sebuah kebebasan ekspresi yang harus diperjuangkan. Celakanya, dalam praktik seni rupa di Indonesia, kecenderungan seni untuk seni inilah yang berkembang. Institusi pendidikan seni formal maupun non formal (sanggar) yang ada di Indonesia. Hal ini terkait dengan strategi dan politik kebudayaan yang dikembangkan oleh Orba. Negara pada waktu itu tidak mengembangkan seni penyadaran, karena takut seniman berkarya secara kritis (disamping teori seni penyadaran ini lebih banyak dilahirkan dari kaum sosialis), maka yang dikembangkan hanya seni lukis yang indah saja. Bersifat Multitafsir Pemahaman atas suatu karya seni selalu bersifat multi tafsir, persoalan ini muncul berpangkal dari pengertian bahwa persoalan seni adalah persoalan nilai. Apa yang disebut nilai selalu berkaitan degan subjek (seseorang); tak ada nilai kalau tak ada subjek. Dalam kontek karya seni, subjek yang dimaksud di sini tentu saja adalah seniman. Jadi harus diingat bahwa nilai tidak dengan sendirinya hadir dari objek (karya seni) tetapi diberikan oleh senimannya. Semua orang normal pada umumnya begitu lahir, dianugerahi potensi atau kemampuan untuk memiliki nilai-nilai dalam hidupnya. Mereka mempunyai kemampuan untuk berseni dan menikmati seni. Hanya saja, setelah berangkat dewasa kemampuan dan ketertarikan untuk mengembangkan nilai seni berbeda satu dengan yang lainnya. Setiap kelompok sosial memiliki nilai seninya sendiri-sendiri yang akhirnya membentuk perbedaan nilai yang dimiliki oleh setiap orang atau seniman. Pengembangan nilai seni seseorang itu diperoleh dari proses pendidikan, bukan tumbuh dalam pribadi setiap orang. Inilah sebabnya nilai seni itu berakar dalam konteks sosio-budaya tertentu. (Jakob Sumardjo, 2000;187) Dalam mengkomunikasikan nilai seni, seniman mewujudkan gagasannya dalam wujud karya seni agar dapat diterima oleh orang lain. Tentu saja, nilai-nilai yang ditawarkan oleh seorang seniman tidak bisa lepas dari sosio-kulturalnya. Hal ini terkait sekali dengan sifat manusia itu sendiri yaitu sebagai mahkluk individu dan sosial. Sehingga, ideom, tanda, simbol yang dipilihnya tentu sangat dekat dengan lingkungan sekitar kehidupan. Maksudnya, setiap karya seni yang tercipta adalah hasil pemikiran dan kontemplasi seniman dalam usahanya untuk mengkomunikasikan gagasannya kepada publik lewat karya seninya. Komunikasi seniman lewat karya seni tersebut dengan menggunakan bahasa-bahasa simbol yang bersifat personal (individual), sehingga setiap penikmat seni akan mencoba menafsirkan pesan apa yang disampaikan oleh seniman lewat karyanya. Padahal tidak semua penikmat seni mempunyai latar belakang sosio-budaya dan tingkat pengetahuan yang sama, sehingga hasil tafsirnyapun juga berbeda-beda. Sebagai contoh kasus yang terjadi di Balai Soedjatmoko ini. Ketika seorang pelukis memvisualisasikan gagasannya tentang posisi perempuan dalam konstruk masyarakat Jawa dengan menggunakan metafor seorang perempuan yang telanjang dengan beberapa kupu-kupu yang beterbangan, ditafsir berbeda oleh penikmatnya. Seni Penyadaran (Perspektif Seniman) Dalam sejarah dunia, ada saat-saat tertentu di mana semua ajaran hidup, termasuk agama, mendorong suatu bangsa untuk berperang dan saling menghancurkan, maka pada saat seperti itulah seniman bisa merasa terpanggil untuk berkarya dengan semangat menjunjung tinggi harga manusia dan perikemanusiaan, meski wujudnya ternyata mirip dengan kampanye erotisme. Tapi jika dikaji secara sederhana, setiap manusia di muka bumi ini, setelah Adam dan Hawa, memang diproses dari sebuah relasi seksual dan kemudian dilahirkan dari lubang sama, yang kemudian oleh sementara pihak dianggap sebagai wilayah porno. Berdasarkan kajian sederhana ini, mungkin sang seniman dalam berkarya tidak mempertimbangkan hal-hal lain, misalnya, masalah moralitas. Justru moralitas mungkin telah hancur dan tidak akan muncul lagi jika tidak ada kampanye erotisme berupa karya-karya seni erotis. Mungkin juga layak diungkapkan di sini, betapa semua seniman memiliki wilayah kerja jelas yang tidak bisa diperluas menurut selera pihak-pihak tertentu. Misalnya, pelukis akan berkarya menciptakan lukisan, sastrawan akan berkarya menciptakan karya sastra, penari akan berkarya menciptakan tarian, dan seterusnya. Dan dalam berkarya, seniman hanya setia kepada rumus-rumus moralitas. Sedangkan kreativitas intelektualitas seniman hanya untuk berkarya, dan bukan untuk menghancurkan rumus-rumus moralitas yang ada. Oleh karena itu, sangat aneh jika ada pihak-pihak tertentu yang mencoba memberangus karya seni hanya karena sebuah anggapan sepihak berdasarkan rumus moralitas yang dipegangnya. Dan segala usaha pemberangusan terhadap karya seni dengan stigma porno layak dikaji ulang dan bahkan diharamkan, karena bisa sangat kontraproduktif bagi kepentingan perikemanusiaan. Demi perikemanusiaan, seniman berkarya, meski karyanya sangat erotis. Dan demi perikemanusiaan pula, semua tindakan yang mencoba memberangusnya harus dihentikan sebelum menelan korban. Terlalu mahal jika ada karya seni yang dibiarkan menjadi korban salah paham. Memberangus karya seni erotis, dengan rumus moralitas bisa disebut sebagai kekeliruan strategis berbudaya dan juga salah sasaran. Sebab, jika sudah tidak ada lagi seniman yang mempromosikan erotisme sebagai bagian integral perikemanusiaan, lalu siapa lagi yang dapat mendidik manusia untuk menghargai dan menghormati perikemanusiaannya secara proporsional? Karya seni erotis harus disepakati bersama untuk tidak bisa disebut porno. Dalam hal ini, deskripsi detail tentang kemesraan sebuah relasi seksual dalam sastra, detail gambar organ seks dalam lukisan, atau detail bentuk alat kelamin pada patung dan detail adegan percintaan dalam tarian atau teater, harus dianggap sebagai bentuk erotisme manusiawi, dan karenanya terlalu mahal untuk disensor. Ekspresi Seni di Ruang Publik Kalau kita mau jujur, salah satu “untuk tak menyebut satu-satunya” warisan Orde Baru yang layak dilestarikan adalah "keberhasilan" dalam menyediakan ruang publik yang immune dari agama. Deprivatisasi agama mampu menjaga eksistensi ruang publik dari pemaknaan sepihak atas nama kebenaran agama tertentu. Ketersediaan ruang publik yang netral merupakan suatu keniscayaan bagi negara yang oleh founding fathers dan mothers-nya telah menahbiskan dirinya bukan sebagai negara teokratis, meski negara juga menolak untuk disebut sekuler. Ambivalensi ini memunculkan interpretasi yang beragam terhadap pemaknaan ruang publik dan agama. Seiring bergulirnya era reformasi dan melemah dan berkurangnya kekuatan negara, akhirnya memicu keberanian, bahkan klaim sepihak yang mendorong interpretasi untuk aksi, dari kalangan masyarakat tertentu yang memaksakan aspirasi religiusnya untuk diterapkan pada wilayah publik. Dalam situasi seperti ini, anarki sosial akibat pertentangan siapa yang paling absah menafsir, tinggal menunggu waktu. Sekarang hal itu telah terbukti. Ruang publik menjadi tidak immune (netral) lagi dari pengaruh nilai-nilai agama tertentu dan begitu mudahnya standar kebenaran suatu kelompok agama dipaksakan masuk. Agama, sebagai pembentuk identitas kelompok, selalu mencuri-curi kesempatan agar bisa tampil pada wilayah publik. Padahal, seperti dikatakan Jurgen Habermas, adanya ruang publik (public sphere) yang bebas dan netral merupakan elemen esensial untuk membangun civil society. Di dalam ruang publiklah “pertarungan simbolik” atau “pertempuran wacana”, atau sederhananya “pembicaraan”, bisa menunjukkan kemurnian “the soul of democracy”, sukma demokrasi dari suatu masyarakat politik. Ruang publik adalah ruang di mana setiap orang tanpa melihat agama, suku, ras maupun golongan dapat melakukan kontestasi secara bebas dan fair. Kata kunci dari ruang publik adalah kesamaan dan kesetaraan pola relasi masing-masing pihak yang terlibat dalam kontestasi itu. Dengan demikian, dalam konteks politis, ruang publik dapat dipahami sebagai ruang untuk warga negara, yakni individu bukan sebagai anggota ras, agama, atau etnis, tetapi sebagai anggota politis atau rakyat (demos). Ruang publik bukanlah institusi atau organisasi, tetapi seperti dikatakan Habermas tadi, lebih sebagai jaringan yang amat kompleks untuk mengomunikasi gagasan, opini, dan aspirasi. Setiap komunitas di mana di dalamnya dibahas norma-norma publik, maka akan menghasilkan ruang publik. Oleh karena itu, sebagai institusi politik yang ada di wilayah publik, negara dalam hal ini diwakili pemerintah, dituntut untuk mampu menjadi pengawal independensi masing-masing ruang. Terutama, menjamin masalah keamanan di public sphere itu. Melihat realitas di atas, lantas bagaimana bentuk kehadiran karya seni rupa di ruang publik, karena ini sangat berkaitan dengan dua hal yang berbeda yaitu seni (dalam hal ini visual) dan publik. Dua pengertian yang berbeda antara seni rupa dan publik, yaitu seni rupa, sebagai media ekspresi dari para seniman yang saat ini sering disebut sebagai perupa dan publik, yaitu suatu kelompok masyarakat. Ketika dua pengertian ini disatukan maka kita akan masuk kedalam pemahaman terhadap aktifitas seni rupa yang dipresentasikan melalui suatu media. Media tersebut menempati suatu ruang di mana masyarakat bisa langsung berhubungan dengan karya seni. Ruang publik yang mana sangat berbeda dengan kanvas sebagai media konvensional, hal ini akan membawa konsekuensi tersendiri yang tidak hanya berhubungan dengan media, materi, dan ukuran. Akan tetapi lebih luas lagi, yaitu yang berkaitan dengan konsep yang mendasari penciptaan yang memakai ruang nyata di mana karya seni bisa langsung berdialog dengan masyarakat luas. Ketika karya seni (ekspresi seni) bersinggungan dengan publik, maka kehadiran karya seni ini sudah otonom, dia bukan lagi milik sang kreator (perupanya) tetapi sudah berdiri sendiri, dan publik berhak menilai menurut tafsir mereka sendiri. Ketika ekspresi individu seniman menciptakan simbol atau metafor personal yang berbeda dengan simbol kultural publiknya, maka akan terjadi kesalah pahaman seperti yang terjadi di Balai Soedjatmoko ini. Kasus ini terjadi karena perbedaan persepsi dalam memaknai “tubuh. Berbicara tentang tubuh, tidak hanya sekedar bicara tentang kulit dan kulit kemudian dirangkai bagian-bagiannya, bukan hanya sebuah fenomena biologis. Tubuh juga, dan utamanya, merupakan sebuah diri, maka kita semua bertubuh. Tubuh tidak hanya ”telah ada” secara alamiah,tetapi juga sebagai sebuah kategori sosial, dengan makna yang berbeda-beda yang disusun, dihasilkan dan dikembangakan di setiap jaman oleh populasi yang beragam. Dengan kata lain, tubuh mirip spon dalam hal kemampuannya menyerap makna, selain tentunya sangat bernuansa politis. Tubuh merupakan sesuatu yang aneh; mampu menampung sesuatu yang sangat luas dari makna yang terus berubah. Ia menjadi unsure pokok identitas personal dan social; sekalipu prasangka dan deskriminasi terdalam, yang pro dan kontra, tumbuh bersama di dalam tubuh. Tubuh-tubuh terpolarisasi secara besar-besaran dalam term-term moral; laki-laki/ perempuan, tua/ muda, cantik/ jelek, gemuk/ kurus, hitam/ putih/ kuning/merah, dan sebagainya, dengan valensi bergantung pada nilai-nilai personal dan kultural. Selain itu, tubuh juga terpolarisasi secara internal, antara bagian-bagian publik seperti wajah dan bagian-bagian privat seperti genital; sebuah polarisasi yang sama dengan diotomi konvensional lainnya; lebih tinggi atau rendah. (Synnott, 2007). Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa sesungguhnya tubuh dengan semua organnya tidak hanya merupakan kondisi biologis saja, melainkan sebuah penciptaan sosial, dengan kompleksitas yang luas dan hampir-hampir tak terbatas jenis, kekayaan, dan kekuasaannya. Bagaimanapun juga, penciptaan dan pembelajaran tubuh sebagai fenomena sosial beragam dari budaya ke budaya, dan bahkan di dalam budaya kita sendiri, yaitu Indonesia. Tubuh tidak hanya milik personal, tetapi punya dimensi sosial dan telah menjadi milik kultural. Dengan pemahaman ini, terjawab sudah kenapa sebuah karya yang memvisualisasikan tubuh (telanjang) pasti ada benturan dengan publik. Individu atau komunitarian yang ada di masyarakat merasa memiliki dan menjaga tubuh itu. Apalagi genital adalah sesuatu yang bernilai ”suci” yang harus selalu ditutupi dan dilindungi. Padahal seperti halnya ”tubuh nyata”, lukisan yang menggambarkan ”tubuh” seharusnya dibaca sebagai teks atau tanda bukan memandang seperti yang terlihat secara visual atau fisik. DAFTAR PUSTAKA Habermas , Jurgen, The Public Sphere; An Encyclpedia Article, dalam Durham, Kellner, ed, 1989 Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung, Penerbit ITB, 2000 Plekanov, G, Seni dan Kehidupan Sosial, Bandung, CV. Ultimus, 2006 Synnott, Anthony, Tubuh Sosial; Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, Bandung, Jalasutra, 2007 The Liang Gie, Filsafat seni, Yogyakarta, PUBIB, 1996 PUSTAKA SKUNDER Burhanuddin, Radikalisasi Ruang Publik, dalam http://islamlib.com/id/index. php?page=article&id=804, 2005 FX. Harsono, Seni Rupa dalam Ruang Publik, dalam http://www.karbon journal.org/content/?p=61&language=id, 2000 Ibnu Adam Aviciena, Ruang Publik, dalam http://ibnuadamaviciena. wordpress.com/2007/07/24/ruang-publik/, 2007 Maria Magdalena Bhoenomo, Erotisme Seni untuk Apa?, dalam http://www. suarakarya-online.com/news.html?id=151483, 2006 Abdul Munir Mulkhan, Kapitalisasi Erotisme, dalam Republika, Senin, 13 Maret 2006 Ruslani, Ruang Publik dan Kebebasan Manusia, dalam Media Indonesia, Jum'at, 18 Februari 2005 http://kompas.com/kompas-cetak/0310/31/utama/660718.htm http://www.suaramerdeka.com/harian/0412/11/slo07.htm http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/jawamadura/2004/12/11/brk,20041211-14,id.html

Friday, 5 September 2008

0 komentar

Followers

 

kebovisual. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Two Church theme by Brian Gardner Converted into Blogger Template by Bloganol dot com